Di bawah adalah kisah benar dari pengalaman pesakit di sebuah
pusat rawatan Ruqyah Syar’iyah di Negara jiran. Diantara pengajaran dari kisah
di bawah:
A)
Amalkan zikir-zikir yang di amalkan oleh
rasulullah saw atau sekurang-kurang yang diajarkan oleh Ulama yang muktabar.
B)
Wirid dan zikir yang benar dan diterima Allah
swt semakin banyak kita amalkan semakin bertambah takwa kepadaNYA. Jika sesuatu
wirid itu dikatakan misalnya “ kalau wirid ini diamalkan terlalu banyak, ia
akan memberi kesan ‘panas’.” Maka tinggalkanlah kerana bertentangan dengan
firman Allah swt yang memerintahkan kita
untuk berzikir kepadanya sebanyak-banyaknya.
C)
Tinggalkan yang meragukan ambil yang diyakini
bersumber dari Nabi saw.
Maksud Hati
Berdzikir, Ternyata Jin yang Saya Dapat
Posted February 25, 2012 by Abu Zaid Al-Hawaary in Kesaksian.
Wiridan sih sah-sah saja. Bahkan wirid sendiri sangat
dianjurkan dalam Islam. tentunya, selama hal itu tidak bertentangan dengan
ajaran Rasulullah. Lain halnya bila wiridan itu diembel-embeli dengan puasa
beberapa hari atau ritual tertentu lainnya. Buka apa-apa. Maksud hati ingin
memperoleh ketenangan batin, tapi yang didapat justru sebaliknya. Diikuti oleh
jin yang mengaku sebagai khadam. Istilah lain untuk pembantu atau pelayan dari
bangsa jin. Inilah kenyataan yang idalami oleh Firmansyah (23 tahun), pemuda
asli Betawi. Pemuda ini mengkisahkan pengalamannya kepada Majalah Ghoib di
rumahnya Menteng, Jakarta Selatan.
Sewaktu sekolah Aliyah dulu, sekitar tahun 1996, saya
mengalami suatu peristiwa yang membawa saya ke dalam pengembaraan panjang.
Sebagai seorang pemuda yang bergelut dengan dunia jin melalui wiridan.
Peritiwanya terjadi pada suatu pagi yang cerah, saat saya
sholat dhuha di masiid tua di daerah Kuningan. Saat itu, di dalam masjid tidak
ada orang lain, hanya saya seorang diri. Kemudian mucul keinginan untuk belajar
pidato. Maka dengan tenang layaknya seorang ustadz, saya melangkah ke mimbar.
Lalu duduk sejenak di kursi. Saya raih tongkat yang ada kemudian bergaya
seperti seorang khothib. Dan secara perlahan meski sedikit gemetar, saya
latihan khutbah, “Alhamdulillah. Alhamdulillahilladzi …”
Nah, satu minggu setelah kejadian itu saya merasakan
kehadiran seseorang yang tidak terlihat. Saya juga suka ngomong sendiri. Kalau
di kelas badan terasa lemas dan tidak bergairah. Untuk menjawab soal pun terasa
agak sulit. Selain itu, saya juga mudah kesurupan. Misalnya, ketika sedang
mengikuti pengajian di sebuah masiid, tiba-tiba badan saya merinding. Merasa
seperti itu, saya segera pulang. Begitu tiba di rumah saya langsung berteriak,
“Hua ha ha …” Saya kesurupan. Kemudian bapak membaca ayat kursi, tapi jinnya
tidak merasa apa-apa. Sepuluh menit kemudian jinnya itu pergi begitu saia.
Kesurupan ini seakan menjadi bagian dari hidup saya. Karena
bisa dipastikan hampir tiap minggu saya selalu kesurupan. Kalau cuma sekali dua
kali mungkin tidak terlalu masalah tapi bila berlangsung hingga satu tahun.
Tentu sangat berat bagi saya. Akibatnya saya selalu hidup dalam ketakutan dan
tidak punya gairah hidup.
Keadaan saya ini, ternyata tidak luput dari perhatian
guru-guru. Hingga guru sosiologi menghampiri, “Kenapa kok lemes terus?”
Akhirnya saya disuruh ke rumahnya. “Sepertinya ada yang aneh dalam dirimu”
komentarnya setelah menuangkan minuman ke gelas. “Saya tidak tahu, Pak.”
Kemudian saya ceritakan apa yang saya alami. Dari tatapan matanya saya tahu
bahwa ia berempati kepada saya. Kemudian dengan bijak ia banyak menasehati dan
mengajarkan beberapa amalan yang katanya bisa mengurangi beban saya.
Saya disuruh membaca Al-Fatihah untuk nabi Muhammmad, para
wali dan para orang-orang tua saya. Kemudian membaca shalawat seratus kali dan
Ya Lathif seratus kali. Lalu berdoa, “Ya Allah. Dengan kekuatan sayidina Umar
berilah saya kekuatannya.”
Saya gembira sekali hari itu. Dan bertekad untuk
mengamalkannya agar rasa takut itu hilang dan kembali bersemangat. Tapi ketika
saya mengamalkan wiridan itu di rumah, saya terkejut. Kok saya teriak-teriak
terus, “Hoh hoh hoh” badan saya menggigil dan gemetaran. Meski demikian saya
terus saja membaca wiridan itu. Hasilnfa baru terasa seminggu kemudian. Ya,
saya mulai tenang.
Sudah agak lama saya tidak kesurupan, hingga akhirnya jin
itu datang lagi. Peristiwanya kali ini terjadi di rumah sakit. Saat saya
terkena penyakit typus dan sudah stadium tiga. Walau itu sudah seminggu saya
tidak shalat, harus terbaring lemah di atas ranjang dan tidak bisa berdiri.
Tapi tiba-tiba saya bisa berdiri tegak kemudian berjalan dengan cepat. Hingga
para pasien dan keluarganya keheranan. Tak lama kemudian, saya berbicara keras
dengan suara bergetar. Tapi suaranya itu bukan suara saya sendiri “Saya mau
shalat. Anak ini sudah meninggalkan shalat berhari-hari. Dia harus shalat
sekarang.” Kemudian jin yang merasuki tubuh saya itu berceramah, sambil
sesekali menepuk dada. Melihat itu, orang-orang pada ribut dan akhirnya membiarkan
saya shalat. Ulah jin yang merasuki saya itu tidak berhenti sampai disini. la
ingin membawa saya melompat dan terjun dari rumah sakit bertingkat itu. “Saya
mau terjun. Saya tidak kuat di sini. Saya mau pulang” sampai banyak suster yang
mau saya
Cekik.
Melihat itu, bapak berteriak. “Siapa kamu?” “Saya adalah
syaikh Abdul Jabbar. Ha ha ha, saya selama ini yang mengikuti dia. Dan saya
dihalangi khadam buyutnya. Saya tonjok mereka hingga babak belur. Saya adalah
raja jin yang terkuat,” jawab jin yang merasuki saya.
Akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan saya dibawa pulang.
Namun, di tengah jalan mobil yang saya tumpangi mogok. Bapak saya menduga
karburatornya yang rusak. Tapi setelah dibuka “cross” airnya muncrat ke muka
bapak. Ketika sampai di rumah, saya melihat rumah yang selebar enam meter itu
sepertinya kecil. Seakan hanya beberapa puluh senti saja. Kemudian saya tidak
bisa tidur hingga beberapa hari.
Jin Abdul Jabbar keluar masuk tubuh dalam kondisi demikian, ada seorang teman yang menjenguk
sambil membawa katanya “air wali”. Setelah dia meminumnya sedikit ia kemudian
menyemprotkannya kembali ke badan saya. “Panaas” teriak jin yang merasuki saya.
“Kamu belajar sama siapa?” Tanya jin. “Sama habib,” jawab teman saya. “Oh,
bagus, bagus teruskan saja belajarmu.” Seolah jin itu menasehatinya. Kemudian
teman saya membaca “Ya Allah, Ya Rahman … sampai kepada Ya Jabbar.” Kemudian
jin tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha. ltu nama saya. Kamu bacakan apa saja,
pasti tidak mempan karena saya jin lslam. Saya hafal 30 juz.” Setelah merasa
tidak marnpu mengobati,saya, akhirnya teman saya itu pulang.
Dua hari kemudian, di pagi yang cerah saya dibawa ke rumah
habib. Tapi anehnya habib itu sudah ada di depan rumah. Seolah dia sudah
menunggu kedatangan saya. Pas ketika saya masih berdiri terpaku di depan
rumahnya, “sreet” saya merusakan ada sesuatu yang keluar dari tubuh saya.
Kemudian bapak ngobrol agak lama dengan habib. Dan setelah meminum air dari
habib, kami segera pulang. Tapi, hanya beberapa menit istirahat di rumah, saya
kesurupan lagi. Jin Abdul Jabbar itu datang lagi. Katanya dia takut sama habib
itu dan sempat keluar.
Keesokan malamnya, sehabis shalat maghrib saya diantar
seorang tetangga ke Cibinong untuk bertemu dengan seorang kiyai. Aneh, setelah
keluar dari tol, sopir itu tidak lagi tahu arah. Berkali-kali ia bertanya,
namun tetap tidak tahu arah. Sementara di luar, cuaca gelap, langit tak
berbintang. Disertai dengan hembusan angin kencang yang terus mendesing di
telinga, seakan hujan akan turun dengan lebatnya. Saat saya melihat ke arloji,
ternyata sudah pukul 10 malam. Tak lama kemudian, lnnalillah, mobil itu mogok
di perkebunan dan tidak bisa dihidupkan lagi, lalu saya kesurupan lagi, “Ha ha
ha. Saya mogokin mobilnya.” Akhirnya kita berlima jalan kaki, walau hawa dingin
terasa menusuk tulang. Dan, setelah memperhatikan sekeliling beberapa saat,
akhirnya sopir itu tahu bahwa kita sudah hampir sampai di rumah kiyai.
Kira-kira hanya berjarak 300 meter.
Alhamdulillah, akhirnya sampai ke tempat tujuan juga,
setelah tersesat beberapa jam. kira muat untuk sepuluh orang. Kamar itu
beralaskan karpet plastik, dengan jendela dan pintu di belakangnya. Lalu bapak
saya menyerahkan dua butir telur ayam kampung. Pak kiyai mengambilnya sebutir
lalu memecahkan dan mencampurnya dengan minyak lulur, yang dipakai untuk pijat
saya.
Selama pemijatan itu, terdengar suara pintu “Gubrak gubrak”,
padahal pintu itu sudah ditutup tapi selanjutnya terbuka lalu tertutup lagi,
begitu seterusnya. Tak lama kemudian saya mulai kesurupan “Ha ha. Akulah Abdul
Jabbar. Saya dari zaman syaikh Abdul Qadir Jailani. Saya berumur 900 tahun.
Saya senang anak ini karena dia rajin ibadah. Tapi saya juga benci, sebab dia
dulu berani naik mimbar. Padahal mimbar itu bukan tempatnya. Yang berhak naik
ke mimbar itu adalah orang-orang yang berilmu. Dan jangan permainkan tempat
saya. Kalau tidak. Saya bunuh anak ini.” Tak lama kemudian saya tidak sadarkan
diri. Dan, setelah sadar tahu-tahu pengobatan itu sudah selesai. Sejak saat itu
jin Abdul Jabbar entah karena apa, tidak datang lagi. Walau sebenarnya jin itu
masih bersarang di tubuh saya.
Wiridan yang Ternyata Penuh Jin
Dua bulan kemudian, saat kelas 3 Aliyah saya mempelajari
wiridan miftahul hizb. Wiridan-wiridan itu saya baca semua kemudian saya berdoa
“Ya Allah, hamba mohon diberikan ilmu dhahir batin dan ditunjukkan jalan
ilmunya Rasulullah.” Setelah mengamalkan wiridan ini setiap hari maka pada hari
ke 13, 14 dan 15 saya berpuasa seperti puasa Ramadhan. Katanya wiridan ini
tanpa menggunakan khadam dari jin. Katanyaa, ilmu yang dihasilkan dari wiridan
ini berasal langsung dari kemukjizatan Rasulullah. Mendengar penjelasan yang
demikian – waktu itu – saya percaya begitu saja.
Hasil pengamalan wiridan ini, diluar dugaan saya.Yang
dulunya saya sering kesurupan, tapi sekarang berbalik. Saya bisa mengobati
orang kesurupan. Selain itu, saya juga bisa menerawang. Ya, saya bisa menebak
watak seseorang yang belum saya kenal sama sekali. Suatu hari saya bertemu
seseorang kemudian saya menerawang dia, “Kamu orangnya pemarah, egois. Kamu
juga sedang menghadapi masalah.” Dia bingung, “Lho kok kamu tahu gitu.” “Ya
saya tahu saja. Kamu bermasalah dengan atasan kamu, kan?” kata saya lagi.
Akhirnya dia makin terpana dan semakin tertarik dengan terawangan saya.
Kemudian saya menerawang temannya, “Orangnya putih, hidungnya mancung dan
rambutnya agak ikal.” “Lho kok kamu tahu!” Teman baru saya itu semakin
terbengong-bengong. Sebenarnya semua yang saya katakan itu tergambar dengan
jelas dipikiran saya begitu saja.
Pada kesempatan lain, ada seorang tetangga yang kehilangan
burung. Akhirnya dia beranya kepada saya. Dan dengan reflek tangan saya
bergerak, “Seeet”. “Tuh burungnya ada di situ.” Tangan saya menunjuk ke arah
tertentu. Akhirnya tetangga itu menyebutkan nama satu persatu. “Namanya si
Arman.” “Bukan” kata saya sambil tangan saya mengisyaratkan tidak benar.
“Namanya si Atong” katanya lagi. “lya, benar itu dia.” Akhirnya burungnya
dicari dan ketemu. Betapa malunya si pencuri yang ketangkap basah itu. Tapi
anehnya keesokan harinya saya kehilangan motor. Kemudian saya coba menerawang
dengan ilmu saya. Saya tunjuk ini dan itu. Tapi tidak bisa menemukan motor itu
hingga sekarang.
Rupanya keahlian saya itu, mengantarkan bapak dan adik untuk
mempelajari ilmu sejenis. Meski mereka belajar dari guru yang berbeda. Nah,
untuk membuktikan ilmu perguruan mana yang lebih hebat, akhirnya saya dan bapak
sepakat untuk diadakan uji kekuatan. Tempatnya di rumah saya. Saat itu, ada
tiga orang yang mengetes saya. Setelah pasang kuda-kuda kemudian saya dipukul.
Ternyata pukulan itu mengenai wajah saya dan tidak bisa saya elakkan. Padahal
sebelumnya saya bisa menghindari dan mementalkan pukulan siapa saja. Saya belum
menyerah. Dan dilakukan pengujian ulang. Saya bertahan dengan cara lain, tapi
saya tetap kena pukulan. Akhirnya saya mengaku kalah dan berguru dengan mereka,
untuk mempelajari ilmu Karamah. Peristiwa ini terjadi pada tahun pertama ketika
saya kuliah di UlN.
Sebelum dibaiat atas keberhasilan mempelajari ilmu Karamah,
saya disuruh puasa tiga hari dan membaca wiridan juga selama tiga hari, “Ya
Allah. Ya Rasulullah. Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani disuhunkeun karamahna ku
abdi gusti suryajana negara (Ya Allah. Ya Rasulullah. Ya Syaikh Abdul Qadir
Jailani dimintakan karamahnya kepada saya gusti suryajana negara) la haula wala
quwata illa billahil ‘aliyil adhim” kemudian di test. Orang yang memukul gaya
itu terpental semua.
Setelah mengamalkan wiridan ini, saya merasakan adanya
perubahan. Orang jadi takut sama saya. Sebaliknya, saya menjadi lebih berani.
Pernah saya terjebak tawuran pelajar. Ketika saya ditimpuk dengan batu,
tiba-tiba batu itu terpental sendiri sebelum mengenai saya. Akhirnya para
pelajar itu kabur, ketakutan. Kondektur bis juga takut. Saya pernah marah
dengan kondektur. Hanya gara-gara kurang ongkos. Waktu itu tarif bus untuk
mahasiswa hanya seratus sementara penumpang umum membayar limaratus. Kebetulan,
saya membayar tigaratus. Tapi, kondektur bis itu tidak percaya. “Kalau kamu
mahasiswa bayar seratus juga saya terima,” kata kondektur itu. “Ya sudah kalau
berani sini,” saya menantangnya. Ketika sudah dekat, dia ketakutan. Sepertinya
dia melihat sesuatu yang menakutkan.
Selain ilmu di atas, saya juga mempelajari dua ilmu lainya.
Yang pertama adalah ilmu kebal dan yang kedua wirid Sakran. Saya tidak tahu,
mengapa saya seperti haus berbagai macam jenis ilmu. Sehingga saya sering
berguru dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, saat itu saya juga
belajar wirid sakran. Wiridan itu diamalkan setiap selesai shalat wajib selama
tujuh minggu dan puasa Senin-Kamis selama tujuh minggu juga. Dengan niat “Aku
niat puasa sunnah karena Allah untuk amalan wirid syaikh Habib Ali Abu Bakar
As-Sakran.”
Sesudah seluruh ritual dalam tujuh minggu itu selesai,
malamnya saya bermimpi sampai dua kali. Mimpi pertama adalah mimpi basah. Dan
setelah bangun kemudian tidur kembali saya bermimpi berada di sebuah masjid
yang besar di wilayah Tarim, salah satu daerah di Hadhramaut, Yaman. Di dalam
masjid itu saya bertemu dengan orangtua. Yang memperkenalkan dirinya sebagai
Habib Muhammad bin Abdul Rahman Assegaf. Kemudian ia menuntun saya berdoa di
samping makam habib Ali bin Abu Bakar As-Sakran.
Beberapa hari kemudian, saya ceritakan mimpi itu kepada
guru. Katanya mimpi itu menjadi wangsit bahwa wiridan saya sudah disahkan.
Selang beberapa hari kemudian, ketika sedang berbaring di tempat tidur,
tiba-tiba saya mendengar suara yang tidak saya ketahui darimana sumbernya,
“Assalaamu’alaikum. Sekarang tuan adalah majikan saya. Dan saya adalah khadam
tuan.”
Beberapa hari berikutnya saya sering kesurupan setelah
tarawih di mushola. Di tengah kerumunan jamaah laki-laki. “Assalaamu’alaikum.
Kenalkan nama saya Abdul Lathif.” Anehnya banyak jamaah yang bahkan menjadikan
iin yang merasuk ke tubuh saya sebagai teman bercanda. “Namanya siapa ki?”
Tanya sebagian jamaah. “Nama saya Abdul Lathif. Saya dari Baghdad. Saya
khadamnya Firmansyah.” Terus banyak yang minta macam-macam. “Saya minta jodoh
dong?” pinta seorang dari mereka. “Lu, yang cocok sama lu orangnya yang
pendek,” kata Abdul Lathif melalui mulut saya. Mendengar jawaban itu, sontak
jamaah tertawa terpingkal-pingkal.
“Saya minta nomer togel nih,” Tapi jin itu langsung
menggerakkan tangan saya untuk mengambil buah dan melempar yang meminta,
“Maksiat nanya-nanya sama gue,” kata jin Abdul Lathif.
Pernah iuga iin yang merasuk ke tubuh saya itu mengambil
kopi dan meminumnya, “Nih, air bekas saya ini berkah” tak tahunya jamaah yang
berada di sekitar saya langsung berebut meminum kopi itu. Peristiwa seperti ini
teriadi sekitar sepuluh kali selama Ramadhan. Dan waktunya selalu setelah
tarawih. Sebelum pergi jin itu pamitan dulu, “Sudah tidak ada pertu lagi dengan
saya? Saya pergi dulu ya. Assalaamu’alaikum”. Setelah peristiwa demi peristiwa
itu, akhirnya banyak yang konsultasi dengan saya. Dan, untuk menjawabnya, saya
gabungkan saja berbagai keilmuan yang saya miliki.
Sehabis Ramadhan, jin Abdul Lathif masih sering merasuk ke
tubuh saya. Bahkan saat saya sedang mengajar anak-anak remaia. Disini dia mulai
mengisi anak-anak remaja itu. “Ki, saya sering lewat daerah-daerah tawuran.
Minta penjagaan dong?” pinta seorang anak. “Ya, sini! Kamu baca “Asyhadu alla
ilaha ilallah. Asyhadu anna Muhammadar rasulullah. La haula wala quwwata ila
billah.” lalu ia menjabat tangan anak yang diberi ilmu. Pada mulanya, jin Abdul
Lathif baru datang setelah saya panggil. Dengan membaca Al-Fatihah untuk nabi.
Kemudian shalawat untuk habib yang menciptakan wiridan ini. Setelah itu, saya
memanggil “Ya Lathif” sambil menjejak bumi tiga kali. Setelah itu lin Abdul
Lathif datang dan merasuk ke tubuh saya. Tapi lama kelamaan kedatangannya tidak
lagi bisa saya kendalikan.
Awal Datangnya Hidayah.
Aktifitas di pengaiian anak remaja, terus menggiring saya
untuk berkenalan dengan beberapa aktifis dakwah lainnya. Nah, dari sini saya
sering tukar pengalaman dan berbagi cerita. Sejujurnya, saya katakan pada
mereka bahwa saya punya ilmu-ilmu teftentu. Yang waktu itu, saya menyebutnya
llmu kemukjizaan. Saya juga punya khadam dari jin dan menurut pendapat saya
meminta bantuan jin juga tidak apa-apa. Pendapat saya ini dibantah oleh
teman-teman. “Lho, itukan bacaan-bacaan lslami. Bacaan shalawat. Bacaan-bacaan
Alquran,” saya mencoba beradu argumentasi. “Walaupun itu Asmaul Husna, tapi
kalau itu buat kebal saya tidak percaya,” kata teman saya.
Seiring dengan semakin lama berinteraksi dengan mereka, saya
merasa ada keanehan. Badan saya panas setiap hari. Saya juga sakit flu tidak
henti-hentinya. Dan, setelah membaca artikel di majalah Ghoib, saya mulai
meragukan kebenaran jalan yang saya tempuh selama ini.
Hal ini semakin diperparah dengan situasi rumah tangga yang
sedikit mengalami goncangan. Dari sini saya mulai tidak yakin akan kebenaran
ilmu saya. Akhirnya saya pergi ke Majalah Ghoib. Saat tiba di kantor Majalah
Ghoib, saya merasa takut sekali. Kepala saya bergetar tanpa dapat saya
kendalikan. Tidak seperti biasanya. Kemudian saya diterapi Ustadz Ahmad
Junaidi. Saat itulah jin yang bersarang di tubuh saya dikeluarkan. Pada ruqyah
pertama saja, kata ustadz Junaidi ada sekitar sepuluh jin yang keluar, tentu
menurut pengakuan jin itu. Ada jin Abdul Jabbar, jin Konghuchu, jin Kristen,
jin Budha dan yang paling bandel keluarnya adalah jin Abdul Lathif.
Ketika jin Abdul Lathif diruqyah ia berbicara dengan ustadz
Junaidi dengan bahasa Arab. “Saya dari Baghdad. Cuma saya lama di Surabaya,”
katanya. “Kenapa kamu masuk ke orang ini?” tanya ustadz Junaidi. “Siapa suruh.
Yang baca wiridan itu dia. Ya, saya masuk. Kalau wiridan itu tidak dibaca, saya
tidak masuk,” kata jin Abdul Lathif lagi. “Berarti kamu telah sesat dan
menyesatkan” bentak ustadz Junaidi. Mendengar bentakan itu, jin Abdul Lathif
hanya bisa diam. Kemudian jin itu berdoa seraya meminta pertolongan kepada Ali.
“Ya Ali. Anqidzni (lolonglah aku).” “Jin, doamu ini syirik,” kata ustadz
Junaidi. “Saya kan tawasul, ustadz,” ujar jin itu mempertahankan diri.
“Tawasul dengan dzat selain Allah itu berarti syirik,” kata
ustadz Junaidi. “Tidak. lni tidak syirik. Saya berpegang teguh dengan manhaj
Zainal Abidin,” kata jin Abdul Lathif masih membandel. Dia susah dikeluarkan.
Karena badan saya sudah kecapekan, akhirnya ruqyah hari itu diakhiri juga.
Meski sebenarnya saya masih merasa bahwa jin Abdul Lathif itu belum bisa
dikeluarkan. Karena itu ustadz Junaidi menyuruh saya untuk datang lagi minggu
depan. Disamping itu says dianjurkan untuk terus berdzikir dan melakukan terapi
ruqyah secara mandiri.
Alhamdulillah setelah terapi ruqyah yang keenam, sekarang
sqra sudah baik kembali tinggal sedikit pusing di kepala bagian belakang.
Begitulah sepenggal kisah yang saya yakin banyak dialami
oleh orang lain, bergelut dengan dunia jin tanpa disadarinya. Atau bahkan
sebagian orang menganggap ini merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah.
Namun, pada akhirnya saya harus mengakui bahwa pendapat yang demikian itu
salah. Saya berharap kisah ini dapat menjadi renungan tersendiri, bagi siapapun
yang berkenan.
Tiada ulasan :
Catat Ulasan