Sebarang
amalan termasuk Zikir tidak lain dan tidak bukan melainkan di dalam rangka
ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah swt. Keikhlasan kerana Allah swt
adalah kuncinya. Keikhlasan sahaja belum tentu selamat melainkan amalan itu mesti
menurut cara yang diredai oleh Allah swt . Cara atau syariat itu lah yang telah
dibawa contohnya oleh junjungan mulia Nabi Saw( Surah ali Imran ayat 31). Bagi memahami
isu bidaah, Imam Hassan Albana ra telah membahaskan pekara ini melalui usul 20.
Ia di bahaskan pada usul ke 11 dan 12.(huraian lanjut boleh di dapati di dalam beberapa
buah kitab atau rujuk terus kepada ulama yang mendapat tarbiah dari madrasah
Imam Hassan AlBana)
Usul ke 11. Semua Bid’ah yang tiada asas Syarak adalah munkar
yang wajib dibenteras.
Usul 12. Bid’ah Idafiah, Bid’ah Tarkiah, Bid’ah Iltizamiah adalah khilaf
ulamak.
Kepada
ahli zikir dan peminat ilmu saya kongsikan kisah benar di bawah sebagai kisah
dan tauladan kali ini. “Ambillah yang ‘Ori’ dari Nabi saw”
اَللّهُمَّ
اَنَّانَعُوذُ بِكَ مِنْ اَنْ نُشْرِكَ شَيْءًا نَعْلَمُهُ
وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُهُ
Kisah
ini mungkin panjang tetapi bagi saya berbaloi membacanya.
Penulis
Tim Majalah Ghoib
Alamat : Gedung UNAS
Jl.Kalilio No.17-19
Senen Jakarta Pusat Telp. 021 – 380 22 39 , 021 7037 4645
0815 11311 554 ,
0813 8185 5656
Awas jangan salah
pilih! Nasehat ini berlaku bagi siapapun yang ingin belajar agama. Hati-hatilah
sebelum bergabung dengan kelompok tertentu. Lantaran merebaknya aliran-aliran
menyesatkan yang bermunculan di negeri ini. Seperti kisah Anton, dua tahun lamanya
ia bersama kelompok pengajian yang mengajarkan ilmu pellet, tembus pandang
maupun teluh. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghaib.
Senja itu, aku
duduk di beranda rumah. Di atas dipan bambu. Menghadap persimpangan jalan yang
selalu ramai. Rumahku memang terletak persis di jalan utama kampung. Lalu
lalang orang di persimpangan jalan itu menarik perhatianku. Seorang lelaki tua
dengan cangkul di pundak mengiringi langkah-langkah kambingnya. Bercak-bercak
lumpur masih menempel di pakaiannya. Tak jauh di belakang lelaki itu, seorang
anak muda berjalan santai. Bajunya bersih dengan songkok hitam menghias
kepalanya. Rudi, begitu ia biasa kupanggil. Ia tinggal dua gang dari rumahku.
Cukup lama aku
diam. Bayangan lelaki tua dan Rudi silih berganti mengisi pikiranku. Lelaki tua
itu nampak tak peduli dengan masa depannya. Ia tenggelam dalam kesibukan dunia.
Saat matahari nyaris tenggelam, ia baru melengggang pulang. Berbeda dengan
Rudi, teman sebayaku yang menghabiskan waktunya di sebuah pesantren di Jawa
Timur. Sudah seminggu ini ia ada di rumah.
Adzan Maghrib
membuyarkan lamunanku. Aku bergegas mengambil songkok dan menyusul Rudi. Anak
muda yang satu ini berbeda dengan pemuda yang biasa kukenal selama ini.
"Hai Rud," sapaku pada Rudi selepas shalat Maghrib. "Hei Ton,
kamu makin gemuk saja," sapanya balik sambil memelukku erat. Obrolan pun
berlanjut di serambi masjid sambil menunggu waktu shalat Isya'.
Terus terang, aku
tertarik dengan kepribadian Rudi. Ia nampak lebih dewasa dari usianya. Ia pun
menuturkan pengalamannya selama ini. Ketenangan dan kedamaian hidup di
tengah-tengah santri. Rudi memang lebih memilih mengabdikan diri di pesantren
setelah lulus Aliyah (setingkat SMA). Ia menjabat sebagai wali asrama. Sebuah
pengalaman yang menarik perhatianku.
Sayangnya, Rudi tak
lama tinggal di rumah. Ia harus kembali ke pesantren. Namun, kepribadiannya
yang kuat telah meninggalkan kesan mendalam dalam jiwaku. Ia memang sosok
pemuda yang berbeda dari teman-temanku yang lain. Jenggotnya yang tipis
membuatnya kian berwibawa. Bayangan masa kecil kembali berkelebat. Saat bermain
bersama di pematang sawah, bermandi lumpur atau berenang di sungai. Rudi memang
berbeda.
Dalam hati, aku
ingin seperti dia. Aku ingin memiliki kepribadian yang kuat sepertinya.
Haruskah aku mondok di pesantren seperti Rudi? Keinginan yang kuat itu
terbentur dengan realita, bahwa aku tidak lagi anak SD. Usiaku sudah delapan
belas tahun. Kembali ke pesantren tentu bukan pilihan terbaik bagi seseorang
yang telah kuliah di semester satu.
Di tengah semangat
yang membara untuk belajar agama itu aku bertemu dengan Dian. Teman SMP yang
drop out. Kami memang jarang ngobrol selama ini. Ketika aku bercerita tentang
Rudi dan keinginanku untuk belajar agama, Dian mengangguk-angguk pelan.
"Ya sudah gabung saja denganku. Ntar malam jam sepuluh di mushalla RT
III," katanya menawariku bergabung dengan pengajian yang biasa diikutinya.
Rudi boleh pergi,
tapi semangat tidak boleh luntur, pikirku. Malam harinya, aku mampir ke rumah
Dian. Tidak enak, bila berangkat sendirian ke pengajian yang belum pernah
kuikuti.
Kuhentikan mobil dengan kedipan mata.
Mushalla itu tidak
terlalu besar. Kira-kira 7 x 12 meter. Deretan sandal-sandal menghias pelataran
mushalla saat aku tiba di sana. Pengajian memang belum dimulai, tapi sekumpulan
pemuda dan bapak-bapak tenggelam dalam dunianya masing-masing. Sama sekali tak
memperhatikan kehadiranku bersama Dian.
"Yan, kok diam
semua?" tanyaku penasaran pada Dian. "Biasa, mereka sedang berdzikir.
Nanti kamu juga seperti mereka," jawab Dian sambil mencari tempat duduk di
pojok belakang. Aku mengikuti Dian dari belakang. Hanya itu yang bisa kulakukan
dalam keterasingan ini.
Setengah jam
berlalu tanpa ada perubahan. Semua peserta pengajian tenggelam dalam dzikir
masing-masing. Kutengok Dian di sebelahku. Ia juga sudah larut dalam dzikirnya.
Aku pun terdiam dalam keheningan.
Sekitar jam sebelas, seorang kakek dalam
balutan kain putih masuk mushalla. Langkahnya yang tegap tidak dapat
menyembunyikan usianya. Orang-orang yang ada di dalam mushalla pun berdiri.
Mereka mencium tangan kakek yang baru datang. Oh, ini gurunya gumamku lirih.
"Malam ini, kita mengulang kembali dzikir yang kita
pelajari minggu lalu," ujar kakek yang biasa dipanggil dengan guru itu
memulai pembicaraannya setelah salam. Aku pun tenggelam dalam dzikir bersama
mereka, menghabiskan malam hingga menjelang Shubuh.
Malam itu adalah pengalaman pertama bagiku. Meski kuakui
aku lebih banyak diam. Malam-malam berikutnya, aku selalu hadir dalam pengajian
dzikir itu. Aku berusaha mengejar ketinggalan dengan banyak bertanya kepada
Dian. Alhasil, aku terbilang seorang murid yang cepat menguasai dzikir yang
diajarkan sang guru dalam berbagai bahasanya.
Masalah kuliah? Untuk sementara ini tidak ada masalah.
Meski banyak bolos, tapi setidaknya sekali dalam seminggu aku sempatkan hadir
di kampus. Sekadar bertemu teman-teman atau sesekali masuk ruang kuliah.
Orangtua juga tidak mempermasalahkannya. Kumanfaatkan celah kehidupan kampus
yang berbeda dengan SMA, seorang mahasiswa tidak harus mengikuti perkuliahan
setiap hari.
Aku lebih disibukkan dengan rutinitas dzikir. Setidaknya,
saat itu ada nilai lebih yang kurasakan dibandingkan dengan yang kudapat dari
bangku kuliah. Tidaklah mengherankan bila gaya kelelawar tidak lagi
kupermasalahkan. Malam begadang pagi mendengkur.
Sejatinya, dzikir yang kami lantunkan itu bukan sembarang
dzikir. Karena dzikir itu merupakan pintu gerbang penguasaan ilmu kanuragan.
Berbagai jenis ilmu kesaktian yang selama ini hanya kudengar satu persatu dapat
aku kuasai. Hingga aku masuk dalam lingkar utama murid guru yang terdiri dari
lima orang.
Suatu malam, guru mengajari kami dzikir dari surat
Ar-Ra'du. "Kalian jangan meremehkan surat Ar-Ra'du. Di dalamnya ada satu
ayat yang bisa mendatangkan kekuatan yang mampu menahan laju mobil," tutur
guru mengawali pengajian dzikir malam itu.
Menurut penjelasan guru, untuk menguasai dzikir dari surat
Ar-Ra'du ini memang tidak mudah. Ia harus dirapal di tempat tertentu dan dalam
hitungan tertentu. Akhirnya lima orang murid utama guru sepakat untuk menguasai
ilmu yang diambil dari dzikir surat Ar-Ra'du ini.
Aku, Emon, Leo, Braja dan Dian dengan ditemani guru pergi
ke sumur tujuh di Serang, Banten. Kami berenam berangkat selepas Maghrib dari
Jakarta. Jelang jam sebelas, kami tiba di lokasi sumur tujuh.
Waktu itu cuaca kurang bersahabat. Hujan gerimis menyertai
langkah-langkah kaki di atas tanah licin. Namun, jalanan yang gelap itu bukan
kendala bagi kami. Jalan setapak itu tidak ubahnya seperti jalanan berbatu
saja. Kami melangkah dengan pasti dibawah panduan ilmu terang untuk menembus
pekatnya malam.
Setiba di suatu tempat, kami berpencar. Guru membagi kami
berlima. Masing-masing berdzikir di bawah pohon besar di salah satu sumur tujuh
itu tanpa ada yang menemani. Aku sendiri kebagian tempat di sumur dua.
Sementara guru menunggu kami di pendopo.
Sebelum berpencar guru menyampaikan wejangan terakhir.
"Kalau kalian melihat sesuatu yang aneh, biarkan saja. Jangan hiraukan,
karena itu adalah bagian dari ujian ilmu ini," ujar guru. Wejangan itu
menjadi bekal bagi kami menuju sumur-sumur masing-masing.
Aku masuk kawasan sumur dua, saat jarum jam di tanganku
menunjuk angka 12. Tepat di bawah pohon besar, aku duduk bersila. Ku atur nafas
dan persiapkan diri sebaik mungkin. Selanjutnya sebuah ayat dari surat Ar-Ra'du
dengan lancar menghiasi bibirku. Ayat itu harus kuulang sebanyak 313 kali.
Entahlah, mengapa harus dalam hitungan sebanyak itu, kami tidak pernah
mempertanyakannya kepada guru.
Satu jam berlalu, gerakan-gerakan aneh di sekitar mulai
kurasakan. Di atas kepala, seekor ular menggantung membelit dahan pohon yang
cukup besar. Ular itu mendesis. Aku berusaha menguasai diri, bahwa ular itu
hanyalah ular jadian. Ia bukan ular yang sesungguhnya dan tidak akan
menggigitku. Kudiamkan saja, ular itu bergelayutan sampai akhirnya hilang
dengan sendirinya.
Selang beberapa saat kemudian, dari sebelah kanan muncul
seekor harimau. Ia mengaum dan mengibas-ngibaskan ekornya. Belum hilang
keterkejutanku dari belakang seekor kalajengking besar datang menghampiri.
Wejangan guru sebelum berpencar kembali terngiang di telinga. "Jangan
hiraukan… Jangan hiraukan," sekuat tenaga aku berusaha menguasai diri,
hingga akhirnya hewan-hewan itu berbalik menjadi pendukung.
Mereka tidak lagi menakutkan dengan tingkah polahnya, tapi
justru menjadi pendukung. "Teruskan… Teruskan…. Teruskan…," begitulah
kata-kata yang terdengar di telinga.
Malam pun terus merayap menyertai bacaan dzikir surat
Ar-Ra'du yang tetap mengalir dari mulutku. Semuanya berakhir ketika Shubuh
menjelang. Aku bergegas kembali ke tempat berpisah. Ternyata teman-teman yang
lain juga baru datang. Kami berkumpul dan menceritakan pengalamannya.
Masing-masing dengan pengalamannya yang berbeda satu sama lain.
Pagi itu, kami langsung balik Jakarta Barat. Sore harinya,
kami berkumpul kembali di lapangan bola. Di sanalah, kami melatih ilmu yang
baru kami kuasai. Seorang teman melempar sebuah bola tepat ke arah kepalaku.
Dan … beberapa detik sebelum menyentuh kepala, kubaca ayat dari surat Ar-Ra'du.
Hasilnya, bola itu tertahan hanya beberapa senti dari mata. Kami terkesima.
Sulit dipercaya bagaimana bola itu terhenti. Latihan itu terus kami ulang. Dua
hari kemudian, kekuatan dzikir itu aku coba untuk menghentikan mobil.
Kebetulan, salah seorang teman membawa mobilnya ke
lapangan. Emon yang menyetir. Ia sudah bersiap di belakang kemudi. Mobil sudah
dinyalakan. Sementara aku berdiri di depan mobil. Aku konsentrasi dan merapal
dzikir. Sedetik kemudian kuberi kode kepada Emon agar menarik pedal gas. Mobil
menderu. Emon kembali menarik pedal gas, tapi mobil tetap tak bergerak. Mobil
itu tertahan lajunya. Entah kekuatan apa yang menahannya. Semakin sering
berdzikir, ilmuku semakin kuat, hingga akhirnya hanya dengan kedipan mata,
sebuah mobil bisa berhenti mendadak.
Mataku sanggup menembus tembok
Meski jarang masuk kuliah, bukan berarti nilaiku jelek.
Soal ujian tidak menjadi masalah bagiku. Bahkan IP tiga pun kuraih di semester
dua. Tak pelak, teman-teman keheranan, bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang
masuk seminggu sekali dapat nilai bagus. “Ton, kamu datang saat UTS-UTS doang,
tapi nilai gedhe-gedhe juga. Percaya nggak percaya,” seloroh Gorda, teman
sekelas.
Seloroh Gorda itu kutanggapi dengan senyuman saja. Mereka
tidak tahu, bahwa saat ujian aku biasa merapal dzikir dan menerapkan ilmu
tembus pandang. Aku melirik lembar jawaban teman yang terkenal otaknya encer.
Wah, itu IP nya tiga lebih, nyontek sama dia saja, pikirku. Berikutnya tinggal
membaca wirid tertentu, jawaban dia langsung tergambar di pelupuk mata. Tinggal
kutulis ulang di lembar jawaban.
Sejatinya ilmu tembus pandang dipergunakan untuk membaca
pikiran dan karakter seseorang saat pertemuan pertama. Namun, dalam
perkembangannya ilmu ini diterapkan untuk berbagai keperluan. Tidak sebatas
membaca pikiran tapi lebih jauh dari itu. Ilmu ini bisa melacak jejak orang
yang berada di balik tembok. Atau melihat tubuh seseorang, seperti saat tidak
mengenakan pakaian.
Dari tiga puluhan murid hanya tiga orang yang menguasai
ilmu ini. Aku salah satu dari mereka. Namun, untuk menerawang seseorang dari
balik bajunya, terus terang aku tidak berani melakukannya. Nuraniku menghalangi
dan membatasi keinginan iseng itu. Meski pada akhirnya aku sempat kebobolan
sekali. Di saat pergi ke pasar, aku terpesona dengan seseorang dan kuterapkan
ilmu tembus pandang. Untunglah aku segera tersadar. Aku akhiri petualangan gila
itu dengan berwudhu.
Tak terasa, setahun telah berlalu. Pengajian dzikir itu
memberiku banyak pelajaran bagaimana menjadi orang sakti. Berbagai jenis ilmu
telah kukuasai. Aku pun tidak kalah bersaing dengan seorang dukun yang
terang-terangan membuka praktek. Kalau mau, aku bisa seperti mereka. Ilmu pelet
sudah kukuasai. Ilmu kebal, tembus pandang, tapak muka, atau bahkan ilmu teluh.
Aku memang tidak mau mengabulkan semua permintaan orang
yang minta tolong. Untuk meneluh misalnya. Bila yang mau dikerjai itu orang
Islam aku tidak mau. Seperti ketika Vigo, seorang teman sepermainan, mengaku
didzalimi oleh atasannya. Uang komisi 20 juta yang seharusnya ia dapatkan,
tidak diterimanya. Vigo minta bantuanku.
Aku bersedia. Tapi teluh ini tidak untuk membunuhnya, aku
hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yang mau menang sendiri dan tertawa
di atas penderitaan orang lain. Supaya dia juga merasakan betapa susah menjadi
orang tersiksa. Tersiksa karena penyakit atau himpitan ekonomi yang menyesakkan
dada. Aku yakin Vigo hanya satu orang dari sekian banyak orang yang telah
didzaliminya.
Foto, ranting pohon, kain kafan, tanah kuburan dan madat
telah siap di atas meja. Kutaruh madat di dalam rokok, lalu kunyalakan. Asap
yang mengepul, kutiup ke atas foto sambil merapal mantra. Aku tetap
melakukannya hingga madat sebesar biji jagung itu habis. Sementara itu tanah
kuburan dan kain kafan kuikat menjadi dua. Satu dilemparkan ke tempat air, dan
sebuah ikatan lagi dibungkus plastik lalu ditaruh di bawah ban mobil hingga
teluh itu terlindas mobil orang yang akan diteluh.
Tak lama kemudian, teluh itu bekerja, bossnya Vigo dibawa
ke rumah sakit. Alasannya klise. Dia sakit mendadak. Cukup parah memang, ia
sempat pingsan beberapa kali. Melihat perkembangan yang tidak menentu, boss
Vigo akhirnya meminta maaf kepada karyawan. Ia mengakui selama ini dia telah
berlaku semena-mena. Para karyawan yang menurut Vigo berada di samping ranjang
boss hanya bisa menunduk.
Di tengah kesedihan itu, sontak keajaiban terjadi.
Tiba-tiba boss Vigo tersenyum. Ia merasakan sudah baikan dan tidak butuh infus
lagi. Padahal beberapa menit sebelumnya ia masih merasakan sakit. Memang, teluh
yang kupelajari mudah dilunturkan. Hanya dengan meminta maaf, maka reaksi teluh
itu berangsur menurun.
Guru mengaku sebagai Tuhan.
Aku terhenyak. Pengajian di bulan Januari 2004
membangkitkan nalarku yang selama ini tenggelam dalam buaian kesaktian. Guru
yang selama ini kami gugu dan kami tiru mulai membongkar jatidirinya. Ia
mengaku sebagai Tuhan yang harus diikuti dan dipatuhi perintahnya.
Semua itu bermula ketika ia mengaku berbicara dengan
Tuhan. Bukan dalam shalat seperti yang biasa dilakukan seorang muslim. Tapi
shalat dengan gayanya sendiri. Aku seakan dibangunkan dari tidur panjang. Aku
sadar itu adalah kesalahan fatal yang tidak boleh terjadi. Meski guru meminta
murid-muridnya untuk mematuhinya, tapi sejak itu friksi di antara kami mulai
terbuka.
Kami berada dalam kebimbangan. Akhirnya Aku dan kelima
orang murid utama yang selama ini selalu patuh dan hormat, mulai menyelidiki
dengan seksama keseharian guru. Semua itu kami lakukan agar bisa mengambil
keputusan terbaik atas kemelut yang berkembang.
Hasil dari penyelidikan kami sungguh mengecewakan. Kami
dapat bukti bahwa sudah lama guru tidak lagi mengikuti shalat Jum'at. Temuan
ini menimbulkan kebimbangan baru. Bila guru tidak shalat Jum'at, tapi mengapa
ilmu yang diajarkan selama ini terbukti keampuhannya? Ilmu tembus pandang,
tapak muka, pelet, teluh maupun ilmu yang lain.
Kebingungan itu mengantarkan kami untuk bertanya kepada
seorang ustadz terpandang di daerah kami. "Jangankan kamu, doa Iblis saja
dikabulkan. Kalau manusia ada masanya kapan dikabulkan Allah, Iblis cepat
dikabulkan. Karena ia dijanjikan neraka," kata ustadz dengan bijak.
Jawaban itu memuaskan kami, hingga tanpa ragu kami putuskan untuk mengundurkan
diri dari perguruan. Ya, kami berlima sebagai murid utama dan paling tinggi
penguasaan ilmunya, akhirnya harus mengakhiri kebersamaan kami setelah dua
tahun tergabung dalam pengajian dzikir.
Sebenarnya ini bukan keputusan yang ringan, karena guru
sempat mengancam. "Ntar pada apes semua kalau jadi mundur," kata guru
dengan suara sedikit ditekan. Sebagai seorang murid yang mengetahui kesaktian
guru, wajar bila terbesit kekhawatiran bila guru akan membuktikan ancamannya.
Tapi keputusan kami sudah bulat. Apapun yang terjadi kami harus keluar. Karena
guru sudah tidak layak lagi dipatuhi dan diikuti perintahnya.
Keputusan itu memberiku kesempatan untuk merenungkan
kembali apa yang terjadi selama dua tahun belakangan. Perlahan ku ingat kembali
kejadian-kejadian yang lalu. Pada akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa telah
banyak yang berubah dalam diri ini.
Aku tidak lagi seorang adik yang manis di depan
kakak-kakaknya. Aku mudah marah bila ada gurauan yang tidak enak didengar di
telinga. Meski aku sadar bahwa itu hanya gurauan, tapi itulah yang terjadi.
Hingga aku jarang berbincang-bincang dengan saudaraku sendiri.
Perasaan sebagai orang sakti dan memiliki kemampuan lebih
dibandingkan orang lain yang membuatku mudah terpancing. Hingga preman pasar
pun hormat kepadaku. Hal ini bermula ketika pada suatu sore kuhantam dua orang
preman dengan sekali pukul.
Bukan hanya preman yang merasakan kerasnya kepalan
tanganku. Saat mengikuti demo mahasiswa menentang kebijakan kenaikan BBM, pun
aku sempat bentrok dengan tiga orang polisi. Di saat mahasiswa sudah mau
mundur, tiga polisi merangsek maju. Mereka mengejar mahasiswa. Aku yang berada
di garis terdepan menjadi sasaran empuk mereka dan terjadilah baku hantam
antara aku dan tiga orang polisi.
Sekian banyak masalah muncul, setelah aku bergabung dengan
pengajian dzikir itu semakin menyadarkan diriku bahwa ada yang salah dalam
dzikir-dzikirnya. Kuakui aku memang orang awam. Keterlibatanku dengan pengajian
pada awalnya karena aku ingin belajar agama. Aku ingin seperti Rudi yang sopan
dan lembut tutur katanya. Tapi yang terjadi kemudian di luar perkiraanku
sendiri.
Di tengah kegalauan jiwa itu Allah mempertemukanku dengan
sekelompok aktifis dakwah. Dari mereka, aku banyak belajar agama. Persahabatan
itu semakin menguatkan diriku untuk mempelajari Islam dari orang-orang yang
kompeten. Dari orang-orang yang mengedepankan kemurnian akidah dan keshahihan
ibadah. Hingga pada akhirnya aku mengikuti ruqyah di kantor Majalah Ghaib
cabang Tangerang.
Alhamdulillah tingkat emosionalku menurun drastis. Lebih
dari itu aku dapat menikmati persaudaraan dengan kakak-kakakku. Tawa dan canda
kembali menggema di antara kami setelah sempat menghilang dua tahun. Allah
mungkin memberiku jalan seperti ini untuk masa depan yang lebih cerah. Semoga
Allah merubah masa depanku ke arah yang lebih baik.